Kamis, 08 Juni 2017

Review Buku: The Fire Sermon #1 - Franscesca Haig

Judul: The Fire Sermon#1
Penulis: Francesca Haig
Penerbit: Noura Books
Penerjemah: Lulu Fitri Rahman
Cetakan ke-1; Januari 2016; 524 halaman
ISBN: 978 – 602 -385- 000 - 6

Blurb

Semakin hari masalahnya semakin besar,” kata Ayah.
Suara Ibu lebih pelan. “Mereka bukan ‘masalah’—mereka anak-anak kita.”
“salah satu dari mereka,” sahut Ayah. “Yang satu lagi berbahaya. Racun. Tapi kita tidak tahu yang mana.”
Bencana besar membagi zaman menjadi dua: masa Sebelum dan Setelah. Empat abad kemudian, tak ada saksi mata tersisa. Namun efeknya masih terlihat pada reruntuhan tebing, dataran hangus, dan tentu saja fenomena kelahiran para manusia kembar: pasangan kembar Alpha dan Omega.
Para Alpha akan menjadi golongan elite, hidup dalam kenikmatan dan keamanan. Sementara para Omega yang lemah—karena memiliki gen mutan—diasingkan dan ditekan masyarakat Alpha.
Cass dan Zach terlahir kembar, dengan kondisi fisik sama-sama sempurna. Tapi mereka tetap tak terhindar dari pemisahan. Sebab Cass punya rahasia besar: sesuatu yang menjadi kelemahan sekaligus kelebihannya.
Rahasia Cass bisa mengubah kesenjangan dunia ini. Hanya saja Cass dan Zach harus memilih: akan saling mengalahkan atau bekerja sama? Dan jika salah langkah, mereka bisa berhadapan dengan kematian.

Di suatu masa Setelah, yaitu masa dimana dunia selamat dari ledakan besar yang hampir menghanguskan seluruh permukaan bumi. Orang-orang yang hidup di masa Setelah dilarang keras menyebut, menyinggung, bergosip bahkan mengutip/mengoleksi barang dari masa Sebelum. Ada hukuman yang sangat keras bagi mereka yang melanggarnya. Tidak segan-segan hukuman cambuk hingga di salib di tengah kota sebagai pelajaran buat warga lainnya.

Bukan hanya kehidupan saja yang berubah, tapi penduduk pun beradaptasi dengan revolusi yang terjadi. Setiap ibu Alpha pasti melahirkan sepasang kembar. Dan salah satu kembar pasti memiliki “cacat” yang harus disingkirkan oleh Dewan. Mereka disebut kaum Omega. Mereka dianggap sebagai racun, tabu dan segala macam keburukan dari masa Sebelum.

Cass dan Jach terlahir sempurna secara fisik. Hingga dipastikan salah satu dari mereka adalah seorang Peramal. Peramal memiliki keistimewaan bisa menerawang dan memiliki fisik yang sama sempurnanya dengan kaum Alpha. Meski begitu, mereka tetap disebut Omega dan harus disingkirkan. Masalah yang terjadi adalah, Dewan tidak bisa membunuh atau menyingkirkan kaum Omega. Karena jika salah satu kembaran terluka, sakit atau mati, maka kembaran yang lain pun akan merasakan hal yang sama. Oleh karena itu Omega harus tetap dipelihara dengan memberikan mereka lahan secukupnya.

Cass dan Jach selalu bersama selama 13 tahun. Cass dan Jach saling menyayangi ketika mereka masih kecil, tapi Jach remaja yang merasa bahwa Cass adalah Omega mulai mencari cara untuk membuktikan bahwa saudara perempuannya itu adalah Omega. Cass yang selalu berhati-hati, menutupi kemampuan meramalnya. Dan sampai suatu hari Jach memanfaatkan kasih sayang Cass untuk membuktikan dirinya adalah Omega. Dan mau tidak mau Cass harus dipisahkan dari keluarganya, dari saudaranya.

Waktu berselang. Cass diasingkan dan menjalani hidup yang keras dan sendirian. Jach dewasa menjadi sosok yang ambisius dan terobsesi pada kekuasaan. Ia bekerja di Dewan, dan demi menjaga keselamatannya, Jach menawan Cass di dalam penjara hingga tidak ada satupun musuh Jach dapat menghabisinya melalui Cass. Cass kecewa dengan perlakuan Jach, dan ia bertekad ingin menemukan Pulau yang selalu ditakuti oleh kaum Alpha. Satu-satunya pulau yang diyakini bisa mengubah kehidupan. Dan sayangnya, tidak ada satupun dari mereka yang bisa menemukannya. Meski Peramal sekalipun.



Review

Temanya bagus, tentang persaudaraan. Alur cerita pun menarik. Sayangnya sih aku kurang menikmati adegan-adegan yang berlangsung. Untuk buku pertama buku ini kurang nendang, kurang klik gregetnya. Nah karena di cover depan dituliskan “Pembaca yang menikmati serial the Hunger Games, Red Rising atau serial dystopia semacamnya akan menyukai buku ini.” Mau nggak mau aku akan ngebandingkan dengan the Hunger Games.

Di THG, dari awal sampe akhir aja kita udah di ajak berpetualang gimana Katnis berjuang mempertahankan hidup di arena. Sama dengan Cass, yang berjuang hidup setelah melarikan diri dari penjara di temani anak laki-laki yang berhasil dia bawa kabur dari sebuah tabung berisi cairan manis. Bedanya, di THG aku ngerasain ketegangan setiap kali Katnis bertindak, setiap kali Katnis melakukan sesuatu yang membahayakan, tapi di the Fire Sermon (TFS) aku nggak ngerasain itu.

Cass dan Kip (nama sementara untuk anak cowok tersebut) menyembunyikan dari prajurit yang berkeras menemukan Cass. Aku nggak bisa nyebutin satu per satu aksi Cass, tapi yang jelas petualangan mereka nggak membekas sama sekali. Yang paling aku suka adalah kedekatan Cass dan Kip yang begitu manis. Mereka sama-sama orang terbuang, Kip tidak memiliki sebelah tangan dan Cass seorang Peramal, rasa kesepian dan rasa terabaikan oleh orang-orang membuat mereka semakin dekat. Cara Kip melindungi Cass atau cara Cass menerima kekurangan fisik Kip dan menjadikannya sebagai sebuah kelebihan, membuat mereka menjadi couple yang wajib dijadikan inspirasi.

Dan satu lagi, tentang Pulau. Entah kenapa, seolah-olah pulau misterius itu mudah ditemukan oleh Cass. Padahal Dewan aja nggak bisa menemukan meski sudha bertahun-tahun. Tapi cara Cass menemukan pulau seperti gampang gtu. Pokoknya bagian-bagian yang seharusnya bisa bikin kaget, malah nggak berkesan sama sekali.

AKU BENCI ENDINGNYA!!!

Oh kejutannya ada. Tapi nggak mengejutkan sekali. Tapi tetap bikin mulut berbentuk O ... Apalagi fakta tersembunyi dari penangkapan kaum Omega dan obsesi Jach yang aneh, tapi aku udah bisa nebak tujuan Jach itu kemana dan untuk apa.

Dan ada seseorang yang harus mati. Oh aku benci. Benci adegan seperti ini. Dan parahnya lagi, novel ini ada lanjutannya.

Galau sih antara pengen beli atau nggak. Soalnya ceritanya sih bagus, tapi cara cerita itu dibawakan yang bikin aku nggak semangat buat nyelesaiannya. Terlalu panjang tapi gregetnya kurang. Beda dengan THG yang nggak tebal tapi gregetnya nancep sampe hati. Apalagi dilema cinta Katniss-Peeta bikin mereka jadi couple favorit aku.

Kamu suka dystopia? Harus baca ini ...

Rekomendasikan untuk bacaan semua umur.

***

Tulisan ini diikutsertakan dalam:

G+

1 komentar:

  1. Wah, adegannya mungkin sulit diterima dengan akal pikiran masa kini ya, siapa tahu ke depan benaran terjadi. Memamg deh hayalan manusia. Menurutku novelnya bagus, tapi penggunaan bahasanya terlalu kaku menurutku untuk sebuah novel.

    BalasHapus

Berikan komentarmu disini

 
;