Judul: The Fire Sermon#1
Penulis: Francesca Haig
Penerbit: Noura Books
Penerjemah: Lulu Fitri Rahman
Cetakan ke-1; Januari 2016; 524 halaman
ISBN: 978 – 602 -385- 000 - 6
Blurb
Semakin
hari masalahnya semakin besar,” kata Ayah.
Suara Ibu lebih pelan. “Mereka bukan ‘masalah’—mereka anak-anak kita.”
Suara Ibu lebih pelan. “Mereka bukan ‘masalah’—mereka anak-anak kita.”
“salah
satu dari mereka,” sahut Ayah. “Yang satu lagi berbahaya. Racun. Tapi kita
tidak tahu yang mana.”
Bencana
besar membagi zaman menjadi dua: masa Sebelum dan Setelah. Empat abad kemudian,
tak ada saksi mata tersisa. Namun efeknya masih terlihat pada reruntuhan
tebing, dataran hangus, dan tentu saja fenomena kelahiran para manusia kembar:
pasangan kembar Alpha dan Omega.
Para
Alpha akan menjadi golongan elite, hidup dalam kenikmatan dan keamanan. Sementara
para Omega yang lemah—karena memiliki gen mutan—diasingkan dan ditekan
masyarakat Alpha.
Cass
dan Zach terlahir kembar, dengan kondisi fisik sama-sama sempurna. Tapi mereka
tetap tak terhindar dari pemisahan. Sebab Cass punya rahasia besar: sesuatu yang
menjadi kelemahan sekaligus kelebihannya.
Rahasia
Cass bisa mengubah kesenjangan dunia ini. Hanya saja Cass dan Zach harus
memilih: akan saling mengalahkan atau bekerja sama? Dan jika salah langkah,
mereka bisa berhadapan dengan kematian.
Di suatu masa Setelah, yaitu masa
dimana dunia selamat dari ledakan besar yang hampir menghanguskan seluruh
permukaan bumi. Orang-orang yang hidup di masa Setelah dilarang keras menyebut,
menyinggung, bergosip bahkan mengutip/mengoleksi barang dari masa Sebelum. Ada hukuman
yang sangat keras bagi mereka yang melanggarnya. Tidak segan-segan hukuman
cambuk hingga di salib di tengah kota sebagai pelajaran buat warga lainnya.
Bukan hanya kehidupan saja yang
berubah, tapi penduduk pun beradaptasi dengan revolusi yang terjadi. Setiap ibu
Alpha pasti melahirkan sepasang kembar. Dan salah satu kembar pasti memiliki
“cacat” yang harus disingkirkan oleh Dewan. Mereka disebut kaum Omega. Mereka
dianggap sebagai racun, tabu dan segala macam keburukan dari masa Sebelum.
Cass dan Jach terlahir sempurna
secara fisik. Hingga dipastikan salah satu dari mereka adalah seorang Peramal.
Peramal memiliki keistimewaan bisa menerawang dan memiliki fisik yang sama
sempurnanya dengan kaum Alpha. Meski begitu, mereka tetap disebut Omega dan harus
disingkirkan. Masalah yang terjadi adalah, Dewan tidak bisa membunuh atau
menyingkirkan kaum Omega. Karena jika salah satu kembaran terluka, sakit atau
mati, maka kembaran yang lain pun akan merasakan hal yang sama. Oleh karena itu
Omega harus tetap dipelihara dengan memberikan mereka lahan secukupnya.
Cass dan Jach selalu bersama
selama 13 tahun. Cass dan Jach saling menyayangi ketika mereka masih kecil,
tapi Jach remaja yang merasa bahwa Cass adalah Omega mulai mencari cara untuk
membuktikan bahwa saudara perempuannya itu adalah Omega. Cass yang selalu
berhati-hati, menutupi kemampuan meramalnya. Dan sampai suatu hari Jach
memanfaatkan kasih sayang Cass untuk membuktikan dirinya adalah Omega. Dan mau
tidak mau Cass harus dipisahkan dari keluarganya, dari saudaranya.
Waktu berselang. Cass diasingkan
dan menjalani hidup yang keras dan sendirian. Jach dewasa menjadi sosok yang
ambisius dan terobsesi pada kekuasaan. Ia bekerja di Dewan, dan demi menjaga
keselamatannya, Jach menawan Cass di dalam penjara hingga tidak ada satupun
musuh Jach dapat menghabisinya melalui Cass. Cass kecewa dengan perlakuan Jach,
dan ia bertekad ingin menemukan Pulau yang selalu ditakuti oleh kaum Alpha.
Satu-satunya pulau yang diyakini bisa mengubah kehidupan. Dan sayangnya, tidak
ada satupun dari mereka yang bisa menemukannya. Meski Peramal sekalipun.
Review
Temanya bagus, tentang
persaudaraan. Alur cerita pun menarik. Sayangnya sih aku kurang menikmati
adegan-adegan yang berlangsung. Untuk buku pertama buku ini kurang nendang,
kurang klik gregetnya. Nah karena di cover depan dituliskan “Pembaca yang menikmati serial the Hunger
Games, Red Rising atau serial dystopia semacamnya akan menyukai buku ini.” Mau
nggak mau aku akan ngebandingkan dengan the Hunger Games.
Di THG, dari awal sampe akhir aja
kita udah di ajak berpetualang gimana Katnis berjuang mempertahankan hidup di
arena. Sama dengan Cass, yang berjuang hidup setelah melarikan diri dari
penjara di temani anak laki-laki yang berhasil dia bawa kabur dari sebuah
tabung berisi cairan manis. Bedanya, di THG aku ngerasain ketegangan setiap
kali Katnis bertindak, setiap kali Katnis melakukan sesuatu yang membahayakan,
tapi di the Fire Sermon (TFS) aku nggak ngerasain itu.
Cass dan Kip (nama sementara
untuk anak cowok tersebut) menyembunyikan dari prajurit yang berkeras menemukan
Cass. Aku nggak bisa nyebutin satu per satu aksi Cass, tapi yang jelas
petualangan mereka nggak membekas sama sekali. Yang paling aku suka adalah
kedekatan Cass dan Kip yang begitu manis. Mereka sama-sama orang terbuang, Kip
tidak memiliki sebelah tangan dan Cass seorang Peramal, rasa kesepian dan rasa
terabaikan oleh orang-orang membuat mereka semakin dekat. Cara Kip melindungi
Cass atau cara Cass menerima kekurangan fisik Kip dan menjadikannya sebagai
sebuah kelebihan, membuat mereka menjadi couple yang wajib dijadikan inspirasi.
Dan satu lagi, tentang Pulau.
Entah kenapa, seolah-olah pulau misterius itu mudah ditemukan oleh Cass.
Padahal Dewan aja nggak bisa menemukan meski sudha bertahun-tahun. Tapi cara Cass
menemukan pulau seperti gampang gtu. Pokoknya bagian-bagian yang seharusnya
bisa bikin kaget, malah nggak berkesan sama sekali.
AKU BENCI ENDINGNYA!!!
Oh kejutannya ada. Tapi nggak
mengejutkan sekali. Tapi tetap bikin mulut berbentuk O ... Apalagi fakta
tersembunyi dari penangkapan kaum Omega dan obsesi Jach yang aneh, tapi aku
udah bisa nebak tujuan Jach itu kemana dan untuk apa.
Dan ada seseorang yang harus
mati. Oh aku benci. Benci adegan seperti ini. Dan parahnya lagi, novel ini ada
lanjutannya.
Galau sih antara pengen beli atau
nggak. Soalnya ceritanya sih bagus, tapi cara cerita itu dibawakan yang bikin
aku nggak semangat buat nyelesaiannya. Terlalu panjang tapi gregetnya kurang.
Beda dengan THG yang nggak tebal tapi gregetnya nancep sampe hati. Apalagi
dilema cinta Katniss-Peeta bikin mereka jadi couple favorit aku.
Kamu suka dystopia? Harus baca
ini ...
Rekomendasikan untuk bacaan semua
umur.
***
Tulisan ini diikutsertakan dalam:
Wah, adegannya mungkin sulit diterima dengan akal pikiran masa kini ya, siapa tahu ke depan benaran terjadi. Memamg deh hayalan manusia. Menurutku novelnya bagus, tapi penggunaan bahasanya terlalu kaku menurutku untuk sebuah novel.
BalasHapus