Mereka Tidak Tahu Bagaimana Kematian Sedang Mengintai Mereka
Judul:
Summer In Hell
Judul
asli: The Ruins
Penulis:
Scott Smith
Penerbit:
Dastan Books
Penerjemah:
Elka Ferani
Cetakan ke-1; September 2007; 548 hlm
Blurb
Sejumlah arkeolog menghilang tanpa jejak
di sebuah situs peruntuhan kuno suku Maya di Meksiko. Enam orang turis ikut
tertarik untuk menuju ke situs itu. Mereka tidak tahu ada sesuatu yang menunggu
mereka di sana. Sesuatu yang bisa mengantarkan mereka pada malapetaka...
SUMMER IN HELL
Empat orang turis Amerika—Eric, Jeff, Amy
dan Stacy—berlibur di Cancun, Meksiko. Di sana mereka berteman dengan Mathias
yang berkebangsaan Jerman dan Pablo yang berasal dari Yunani. Mathias mengajak
mereka berpetualang melintasi hutan menuju sebuah situs reruntuhan kuno
peninggalan suku Maya guna menyusul adiknya yang ikut bersama rombongan
arkeolog ke sana.
Namun sesampainya di situs misterius itu,
bukannya menemukan rombongan arkeolog, mereka malah menerima ancaman dari suku
Maya setempat yang akan membunuh jika mereka meninggalkan situs tersebut. Dan,
tanpa disadari, sesuatu yang mematikan mengintai di sana. Sesuatu yang
menikmati ketakutan dan keputusasaan mereka... yang hendak menghabisi mereka
secara perlahan dan menyakitkan, satu demi satu...
Sinopsis
Jeff, Amy, Eric dan Stacy berlibur ke
Cancun, Meksiko. Mereka bertemu Mathias, yang saat itu menjadi pemandu dadakan
ketika mereka menyelam. Sejak saat itu Mathias dekat dengan Jeff dkk. Tidak
hanya Mathias, Pablo dan kedua teman Yunaninya pun menjadi dekat. Bedanya,
Pablo dan kawan-kawan tidak bisa berbahasa inggris sama sekali. Hingga
komunikasi mereka lebih banyak menggunakan bahasa isyarat. Meski begitu, mereka
dekat satu sama lain dengan cara yang tidak bisa di jelaskan.
Mathias punya tujuan mendatangi Meksiko,
ia ingin mencari adiknya, Henrich, yang pergi setelah pertengkaran hebat antara
mereka berdua. Adiknya meninggalkan surat dan sebuah peta yang menunjukan
kemana tujuannya. Mathias berencana ke tempat tersebut. Jeff yang saat itu
bosan melakukan kegiatan yang sama setiap hari, makan, tidur, menyelam dan
berjemur di pantai, ingin mencari arti liburan yang menantang, menawarkan
bantuan akan ikut bersama Mathias. Mathias tentu senang sekali, Amy, Stacy dan
Eric pun menyetujui rencana tersebut. Pablo yang saat itu melihat mereka
bersiap-siap ingin pergi, malah ingin ikut serta. Mereka akan bepergian ke
Coba, dan malam harinya akan tiba di penginapan lagi. Mathias akan pulang ke
Jerman bersama Adiknya, Jeff dan kawan-kawan akan membicarakan petulangan
eksotis mereka di hutan. Itu lah rencana awalnya.
Sayangnya, mereka tidak menyiapkan
rencana cadangan ketika mereka di tawan oleh suku Maya di bukit yang ditumbuhi
tanaman merambat. Mereka melangkah satu langkah saja dari bukit tersebut, maka
mereka mati.
Seharusnya bukan ancaman suku Maya yang
harus mereka takuti, tapi apa yang sedang menanti mereka di bukit tersebut.
“Sepertinya ini
sesuatu yang ada hubungannya dengan bukit ini. Segera setelah kau menginjakan
kaki di bukit ini, kau tak boleh keluar lagi.” – hal 107
Review
Aku nggak tahu mau ngomong apa ketika
baca novel ini.
Novel ini udah dua kali aku baca, pertama
pas baru-baru masuk kuliah (sekitar tahun 2008) dan sekarang. Tapi efek yang
ditimbulkan novel ini kepadaku benar-benar tidak berubah sedikit pun.
Menegangkan...
Aku nggak nyangka sebuah novel bisa
menciptakan ketegangan ini tanpa sedikit pun aku bosan dari bab ke bab. Padahal
jarak antara bab itu jauh banget. Novel ini memiliki ketebalan 548 halaman,
tapi hanya punya 11 bab. Dan di bab 5 aja kita udah di ajak jejeritan karena
“sesuatu” yang menunggu mereka di bukit tersebut. Trus masih ada enam bab
sebelum ending. Bayangkan aja, selanjutnya tidak ada halaman tanpa ketegangan.
Oke, mulai sekarang aku akan menyebut
sesuatu yang mengancam mereka dengan sebutan “sesuatu” (pakai tanda kutip) biar
nggak hilangin ketegangan kalian saat memutuskan membaca novel ini.
Tak akan ada yang
baik-baik saja. Pablo cedera parah, dan mereka menjadi bagian dari semua ini,
bagian dari rasa sakitnya, Eric meresa ingin menangis. – hal 163
-karakter-
Di
sini karakter Jeff, Amy, Eric dan Stacy menjadi tokoh utama. Mereka berempat
mendapat posrsi yang sama banyak dalam cerita ini. Bahkan sudut pandang yang
digunakan berganti-gantian antara satu dengan yang lainnya, tapi tetap
diceritakan oleh orang ketiga.
Karakter
merupakan salah satu poin terkuat, terpenting yang berhasil di eksplore dengan
tepat oleh Penulis.
Entah
ya, aku kurang paham bagaimana menjelaskannya. Ketika sudut pandang bergantian,
misalnya antara Jeff yang selalu berpikir tenang dan mencoba menganalisis
situasi dengan kepala dingin, di anggap pemimpin oleh mereka. Dan ketika
bergantian ke sudut pandang Amy, aku di ajak untuk masuk ke pikiran Amy yang
sebenarnya menolak keputusan-keputusan Jeff. Dan dari Jeff juga aku tahu Amy
itu plin plan dan tukang ngeluh. Dan itu juga terjadi pada Stacy dan Eric.
Harapan,
keputusasaan, ketakutan dan tegang menjadi inti dari novel ini bikin nggak akan
berhenti membacanya.
Aku
paling suka adalah bagaimana Penulis menciptakan karakter Jeff itu untuk
memecahkan teka-teki penyebab mereka di kurung di bukit tersebut. Awalnya sih
Jeff mengira mereka di tawan karena mereka melihat sesuatu yang terlarang dan
tidak boleh menyebarkannya keluar. Tapi Jeff berpikir, kenapa suku Maya tidak
membunuh mereka aja sekaligus. Kenapa harus di kurung di bukit tersebut. Dan
satu persatu teori terkumpul di kepalanya dan tahulah ia bahwa “sesuatu” di
bukit itu berbahaya dan bisa menulari mereka entah bagaimana caranya.
Mereka
dengan kepribadianya seolah-olah adalah orang yang nyata. Aku nggak bisa
membayangkan mereka adalah tokoh dalam novel. Aku seperti melihat mereka dalam
bentuk film, dimana tokoh-tokoh imajiner terbentuk memerankan mereka satu per
satu. Dimana mereka meregang nyawa, berteriak, frustasi seolah-olah sangat
nyata. Apa aku kelihatannya seperti mengulang kalimat? Aku juga berpikir gitu,
tapi itu lah faktanya.
Uniknya,
sih di tengah-tengah, ada percakapan mereka yang berandai-andai jika kisah
mereka di filmkan. Dan yah mereka menebak-nebak siapa aktor dan aktris yang
akan memerankan mereka. Dan anehnya, sosok itu cukup cocok dibayangkan. Cukup
cocok untuk menggantikan tokoh imajinasi di dalam kepala aku.
-plot-
Alurnya
sepenuhnya maju. Dan Penulis tidak membuang-buang waktu dengan menceritakan
kegiatan liburan Jeff dan kawan-kawan di halaman depan. Di halaman awal Penulis
hanya ingin fokus bagaimana Jeff dkk bertemu Mathias. Lalu bagaimana kedekatan
mereka dengan Pablo orang Yunani yang tidak berbahasa inggris, sehingga mereka
selalu menggunakan bahasa isyarat. Tentu saja tetap di selipi beberapa dialog,
tapi menurut aku nggak ada yang aneh. Malah keputusan Penulis untuk lebih
banyak narasi di halaman depan adalah awal yang tepat. Setidaknya ketika sudah
mencapai bagian klimaks, Penulis nggak perlu “pengenalan” tentang siapa ini,
atau apa tujuannya dan bagaimana jalannya.
Pelan
tapi pasti. Pelan tapi mencengkam. Pelan tapi menengankan. Pelan tapi teror.
Adalah ungkapan yang tepat saat kisah memasuki Jeff dkk terjebak di bukit
tersebut. Berbeda dengan di awal-awal, di bagian ini Penulis dengan detail
sedetail-detailnya menangkap ekspresi tokoh utama dan membawakannya dalam
tulisan. Hingga akhir, aku masih menahan nafas bagaimana Penulis berhasil
membuat aku bergidik.
Bayangkan
aja, belum satu adegan selesai, di susul adegan menegangkan lainnya hingga aku
di buat panik. Semuanya membuat para tokoh stress tingkat tinggi. Harapan
mereka seperti di putus begitu saja.
Ada
bagian ketika mereka kelaparan berat, “sesuatu” tersebut menciptakan aroma
makanan yang super lezat. Menggoda mereka dan membuat mereka tidak berdaya.
Yang sialnya membuat salah satu dari mereka berpikir untuk memakan salah satu
mayat sahabat mereka sendiri.
WOW
...
-adegan
yang bikin bergidik-
Aku
nggak bisa menjelaskan bagian ini tanpa spoiler.
Aku
bergidik apa yang terjadi pada Pablo.
Aku
bergidik keputusan apa yang diambil oleh Jeff untuk menyelamatkan Pablo.
Aku
ngilu ketika Jeff benar-benar melakukannya.
Aku
kasihan bagaimana mereka menciptakan harapan-harapan kosong yang mereka tahu
hanya menipu diri mereka sendiri.
Aku
merinding bagaimana “sesuatu” itu mempengaruhi para tokoh utama bukan hanya
segi fisik, tapi psikologi mereka di permainkan sedemikian rupa hingga mereka
sendiri tidak yakin apakah itu hanya di alam bawah sadar mereka atau nyata.
Dan
gampangnya, SEMUA adegan dalam novel ini bikin bergidik, merinding dan
menakutkan. Daripada aku harus jelasin satu persatu.
-ending-
Bukan
hanya plot yang tidak tertebak. Tapi endingnya pun tidak bisa aku terkan bagaimana
akhirnya. Di sini jelas terlihat Penulis menggunakan psikologis untuk membuat
“sesuatu” yang mengincar mereka, membunuh satu per satu berdasarkan sifat
mereka. Berdasarkan kelemahan mereka. Berdasarkan cara mereka berpikir. Dan ya,
intinya “sesuatu” di dalam novel ini sangat cerdas. Dan ketika ending
meninggalkan satu orang yang hidup, lagi-lagi trik psikologis ini di mainkan.
Membuat aku menahan nafas.
Aku
benci endingnya.
Tapi
aku terkesan.
-kesimpulan-
AKU
SUKA SEKALI BUKU INI.
Salah
satu thriller terbaik yang pernah aku baca. Dan buku ini pantas banget mendapat
pengghargaan BEST SELLER... sayangnya, penerbit Dastan ini nggak kedengaran
lagi eksistensinya. Sehingga buku ini nggak pernah di cetak ulang.
Buat
yang ngaku pecinta thriller, novel ini WAJIB jadi bacaan kamu.
Jeritan yang tak putus-putus, jeritan yang rasanya
sudah merasuki tubuhnya, berada di dalam tubuhnya sekarang—bergema,
bergaung—semakin kers seriring berlalunya waktu, semakin keras secara tidak
mungkin, semakin keras secara mengerikan, jauh lebih menyakitkan ketika
pembakaran itu. – hal 232
***
Tulisan
ini diikutsertakan dalam:
aku suka bgt sama novel ini,
BalasHapus