Selasa, 21 Februari 2017

[Review Buku] Summer in Hell - Scott Smith

Mereka Tidak Tahu Bagaimana Kematian Sedang Mengintai Mereka


Judul: Summer In Hell
Judul asli: The Ruins
Penulis: Scott Smith
Penerbit: Dastan Books
Penerjemah: Elka Ferani
Cetakan ke-1; September 2007; 548 hlm

Blurb

Sejumlah arkeolog menghilang tanpa jejak di sebuah situs peruntuhan kuno suku Maya di Meksiko. Enam orang turis ikut tertarik untuk menuju ke situs itu. Mereka tidak tahu ada sesuatu yang menunggu mereka di sana. Sesuatu yang bisa mengantarkan mereka pada malapetaka...

SUMMER IN HELL

Empat orang turis Amerika—Eric, Jeff, Amy dan Stacy—berlibur di Cancun, Meksiko. Di sana mereka berteman dengan Mathias yang berkebangsaan Jerman dan Pablo yang berasal dari Yunani. Mathias mengajak mereka berpetualang melintasi hutan menuju sebuah situs reruntuhan kuno peninggalan suku Maya guna menyusul adiknya yang ikut bersama rombongan arkeolog ke sana.

Namun sesampainya di situs misterius itu, bukannya menemukan rombongan arkeolog, mereka malah menerima ancaman dari suku Maya setempat yang akan membunuh jika mereka meninggalkan situs tersebut. Dan, tanpa disadari, sesuatu yang mematikan mengintai di sana. Sesuatu yang menikmati ketakutan dan keputusasaan mereka... yang hendak menghabisi mereka secara perlahan dan menyakitkan, satu demi satu...

Sinopsis

Jeff, Amy, Eric dan Stacy berlibur ke Cancun, Meksiko. Mereka bertemu Mathias, yang saat itu menjadi pemandu dadakan ketika mereka menyelam. Sejak saat itu Mathias dekat dengan Jeff dkk. Tidak hanya Mathias, Pablo dan kedua teman Yunaninya pun menjadi dekat. Bedanya, Pablo dan kawan-kawan tidak bisa berbahasa inggris sama sekali. Hingga komunikasi mereka lebih banyak menggunakan bahasa isyarat. Meski begitu, mereka dekat satu sama lain dengan cara yang tidak bisa di jelaskan.

Mathias punya tujuan mendatangi Meksiko, ia ingin mencari adiknya, Henrich, yang pergi setelah pertengkaran hebat antara mereka berdua. Adiknya meninggalkan surat dan sebuah peta yang menunjukan kemana tujuannya. Mathias berencana ke tempat tersebut. Jeff yang saat itu bosan melakukan kegiatan yang sama setiap hari, makan, tidur, menyelam dan berjemur di pantai, ingin mencari arti liburan yang menantang, menawarkan bantuan akan ikut bersama Mathias. Mathias tentu senang sekali, Amy, Stacy dan Eric pun menyetujui rencana tersebut. Pablo yang saat itu melihat mereka bersiap-siap ingin pergi, malah ingin ikut serta. Mereka akan bepergian ke Coba, dan malam harinya akan tiba di penginapan lagi. Mathias akan pulang ke Jerman bersama Adiknya, Jeff dan kawan-kawan akan membicarakan petulangan eksotis mereka di hutan. Itu lah rencana awalnya.

Sayangnya, mereka tidak menyiapkan rencana cadangan ketika mereka di tawan oleh suku Maya di bukit yang ditumbuhi tanaman merambat. Mereka melangkah satu langkah saja dari bukit tersebut, maka mereka mati.

Seharusnya bukan ancaman suku Maya yang harus mereka takuti, tapi apa yang sedang menanti mereka di bukit tersebut.

“Sepertinya ini sesuatu yang ada hubungannya dengan bukit ini. Segera setelah kau menginjakan kaki di bukit ini, kau tak boleh keluar lagi.” – hal 107


Review

Aku nggak tahu mau ngomong apa ketika baca novel ini.

Novel ini udah dua kali aku baca, pertama pas baru-baru masuk kuliah (sekitar tahun 2008) dan sekarang. Tapi efek yang ditimbulkan novel ini kepadaku benar-benar tidak berubah sedikit pun. Menegangkan...

Aku nggak nyangka sebuah novel bisa menciptakan ketegangan ini tanpa sedikit pun aku bosan dari bab ke bab. Padahal jarak antara bab itu jauh banget. Novel ini memiliki ketebalan 548 halaman, tapi hanya punya 11 bab. Dan di bab 5 aja kita udah di ajak jejeritan karena “sesuatu” yang menunggu mereka di bukit tersebut. Trus masih ada enam bab sebelum ending. Bayangkan aja, selanjutnya tidak ada halaman tanpa ketegangan.

Oke, mulai sekarang aku akan menyebut sesuatu yang mengancam mereka dengan sebutan “sesuatu” (pakai tanda kutip) biar nggak hilangin ketegangan kalian saat memutuskan membaca novel ini.

Tak akan ada yang baik-baik saja. Pablo cedera parah, dan mereka menjadi bagian dari semua ini, bagian dari rasa sakitnya, Eric meresa ingin menangis. – hal 163

-karakter-

Di sini karakter Jeff, Amy, Eric dan Stacy menjadi tokoh utama. Mereka berempat mendapat posrsi yang sama banyak dalam cerita ini. Bahkan sudut pandang yang digunakan berganti-gantian antara satu dengan yang lainnya, tapi tetap diceritakan oleh orang ketiga.

Karakter merupakan salah satu poin terkuat, terpenting yang berhasil di eksplore dengan tepat oleh Penulis.

Entah ya, aku kurang paham bagaimana menjelaskannya. Ketika sudut pandang bergantian, misalnya antara Jeff yang selalu berpikir tenang dan mencoba menganalisis situasi dengan kepala dingin, di anggap pemimpin oleh mereka. Dan ketika bergantian ke sudut pandang Amy, aku di ajak untuk masuk ke pikiran Amy yang sebenarnya menolak keputusan-keputusan Jeff. Dan dari Jeff juga aku tahu Amy itu plin plan dan tukang ngeluh. Dan itu juga terjadi pada Stacy dan Eric.

Harapan, keputusasaan, ketakutan dan tegang menjadi inti dari novel ini bikin nggak akan berhenti membacanya.

Aku paling suka adalah bagaimana Penulis menciptakan karakter Jeff itu untuk memecahkan teka-teki penyebab mereka di kurung di bukit tersebut. Awalnya sih Jeff mengira mereka di tawan karena mereka melihat sesuatu yang terlarang dan tidak boleh menyebarkannya keluar. Tapi Jeff berpikir, kenapa suku Maya tidak membunuh mereka aja sekaligus. Kenapa harus di kurung di bukit tersebut. Dan satu persatu teori terkumpul di kepalanya dan tahulah ia bahwa “sesuatu” di bukit itu berbahaya dan bisa menulari mereka entah bagaimana caranya.

Mereka dengan kepribadianya seolah-olah adalah orang yang nyata. Aku nggak bisa membayangkan mereka adalah tokoh dalam novel. Aku seperti melihat mereka dalam bentuk film, dimana tokoh-tokoh imajiner terbentuk memerankan mereka satu per satu. Dimana mereka meregang nyawa, berteriak, frustasi seolah-olah sangat nyata. Apa aku kelihatannya seperti mengulang kalimat? Aku juga berpikir gitu, tapi itu lah faktanya.

Uniknya, sih di tengah-tengah, ada percakapan mereka yang berandai-andai jika kisah mereka di filmkan. Dan yah mereka menebak-nebak siapa aktor dan aktris yang akan memerankan mereka. Dan anehnya, sosok itu cukup cocok dibayangkan. Cukup cocok untuk menggantikan tokoh imajinasi di dalam kepala aku.


-plot-

Alurnya sepenuhnya maju. Dan Penulis tidak membuang-buang waktu dengan menceritakan kegiatan liburan Jeff dan kawan-kawan di halaman depan. Di halaman awal Penulis hanya ingin fokus bagaimana Jeff dkk bertemu Mathias. Lalu bagaimana kedekatan mereka dengan Pablo orang Yunani yang tidak berbahasa inggris, sehingga mereka selalu menggunakan bahasa isyarat. Tentu saja tetap di selipi beberapa dialog, tapi menurut aku nggak ada yang aneh. Malah keputusan Penulis untuk lebih banyak narasi di halaman depan adalah awal yang tepat. Setidaknya ketika sudah mencapai bagian klimaks, Penulis nggak perlu “pengenalan” tentang siapa ini, atau apa tujuannya dan bagaimana jalannya.

Pelan tapi pasti. Pelan tapi mencengkam. Pelan tapi menengankan. Pelan tapi teror. Adalah ungkapan yang tepat saat kisah memasuki Jeff dkk terjebak di bukit tersebut. Berbeda dengan di awal-awal, di bagian ini Penulis dengan detail sedetail-detailnya menangkap ekspresi tokoh utama dan membawakannya dalam tulisan. Hingga akhir, aku masih menahan nafas bagaimana Penulis berhasil membuat aku bergidik.

Bayangkan aja, belum satu adegan selesai, di susul adegan menegangkan lainnya hingga aku di buat panik. Semuanya membuat para tokoh stress tingkat tinggi. Harapan mereka seperti di putus begitu saja.

Ada bagian ketika mereka kelaparan berat, “sesuatu” tersebut menciptakan aroma makanan yang super lezat. Menggoda mereka dan membuat mereka tidak berdaya. Yang sialnya membuat salah satu dari mereka berpikir untuk memakan salah satu mayat sahabat mereka sendiri.

WOW ...

-adegan yang bikin bergidik-

Aku nggak bisa menjelaskan bagian ini tanpa spoiler.

Aku bergidik apa yang terjadi pada Pablo.

Aku bergidik keputusan apa yang diambil oleh Jeff untuk menyelamatkan Pablo.

Aku ngilu ketika Jeff benar-benar melakukannya.

Aku kasihan bagaimana mereka menciptakan harapan-harapan kosong yang mereka tahu hanya menipu diri mereka sendiri.

Aku merinding bagaimana “sesuatu” itu mempengaruhi para tokoh utama bukan hanya segi fisik, tapi psikologi mereka di permainkan sedemikian rupa hingga mereka sendiri tidak yakin apakah itu hanya di alam bawah sadar mereka atau nyata.

Dan gampangnya, SEMUA adegan dalam novel ini bikin bergidik, merinding dan menakutkan. Daripada aku harus jelasin satu persatu.

-ending-

Bukan hanya plot yang tidak tertebak. Tapi endingnya pun tidak bisa aku terkan bagaimana akhirnya. Di sini jelas terlihat Penulis menggunakan psikologis untuk membuat “sesuatu” yang mengincar mereka, membunuh satu per satu berdasarkan sifat mereka. Berdasarkan kelemahan mereka. Berdasarkan cara mereka berpikir. Dan ya, intinya “sesuatu” di dalam novel ini sangat cerdas. Dan ketika ending meninggalkan satu orang yang hidup, lagi-lagi trik psikologis ini di mainkan. Membuat aku menahan nafas.

Aku benci endingnya.

Tapi aku terkesan.

-kesimpulan-

AKU SUKA SEKALI BUKU INI.

Salah satu thriller terbaik yang pernah aku baca. Dan buku ini pantas banget mendapat pengghargaan BEST SELLER... sayangnya, penerbit Dastan ini nggak kedengaran lagi eksistensinya. Sehingga buku ini nggak pernah di cetak ulang.

Buat yang ngaku pecinta thriller, novel ini WAJIB jadi bacaan kamu.

Jeritan yang tak putus-putus, jeritan yang rasanya sudah merasuki tubuhnya, berada di dalam tubuhnya sekarang—bergema, bergaung—semakin kers seriring berlalunya waktu, semakin keras secara tidak mungkin, semakin keras secara mengerikan, jauh lebih menyakitkan ketika pembakaran itu. – hal 232
***
Tulisan ini diikutsertakan dalam:

G+

1 komentar:

Berikan komentarmu disini

 
;